Pulung (Bagian 9)![]() | |||
Wanita itu masih berbaring lemah. Apa yang dikatakan Pulung ternyata bohong. Ia bilang ibunya sudah lumayan baik, tetapi yang kulihat sungguh membuatku nelangsa. Pulung menunggui di sisi pembaringan. Wajahnya kusut. Ia bangkit berdiri, ketika aku masuk diantar seorang wanita setengah baya yang membantu menjagai dan merawat ibunya. Tak tahan oleh perasaan yang mengimpit, aku langsung menangis dan menubruk wanita itu. “Rintan,” Pulung mengguncang punggungku, tetapi justru membuat tangisku makin menjadi. “Ibu... aku anak perempuanmu.” Suaraku serak, dadaku serasa hampir meledak. Ia membuka mata dan menatapku lama. “Aku anak perempuanmu. Aku anak perempuan Rahayu yang menikah dengan keris Tumenggung Rekso Darmo.” “Kau tahu nama ibuku?” Sekali lagi Pulung mengguncang bahuku. Aku tak mau melepas pelukanku pada wanita itu. “Ibu, Namaku sebenarnya adalah Intan. Anakmu.” “Intaaann...,” suara lirih wanita yang berbaring itu membungkam kami. Ia berusaha bangkit. Tangan kami segera menangkapnya. “Ibu,” sebutku sekali lagi. “Kau?” “Ya. Aku Intan, anak Ibu yang dilarikan romoku untuk diberikan kepada ibuku, 28 tahun lalu.” Perempuan itu langsung meraihku dan kami satu dalam pelukan. Isak dan air mata kami menyatu. Pulung membisu. Sepertinya ia belum sadar betul apa yang tengah terjadi. Aku membaringkan Ibu kembali. Kukeluarkan foto yang pernah kucuri. “Ibu mencari ini?” Ia mengangguk. Tetapi, matanya tak melepasku barang sedetik. Seolah ia telah membaca sejarah dan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Bibirnya bergerak-gerak, entah apa yang ia gumamkan. Tangannya menggenggam lemah tangan kiriku. “Bagaimana bisa?” Pulung meraih foto itu. Aku terisak. Memeluk Ibu sekali lagi, lalu keluar kamar. Pulung menyusulku. “Pulung,” kataku, begitu aku meletakkan tubuh ke kursi. Suaraku terbata. Lalu ia melingkarkan tangannya pada bahuku. “Rintan.” “Intan.” “Bagiku Rintan atau Intan sama saja. Ternyata aku telah jatuh cinta pada adik kandungku. Hidup ini sungguh aneh. Ternyata harapan Ibu untuk bertemu dengan putrinya telah terwujud. Sungguh sulit kupercaya ini.” “Pulung, cintai aku. Jangan benci aku karena telah membiarkan kakaknya dan ibunya menjadi begini. Bahkan, nyaris tak kupercaya bahwa sebenarnya putra Romo bukan hanya Mas Bayu dan Mas Indra, tetapi Mas Pulung juga.” “Bukan salahmu, Rintan. Selama bertahun aku selalu bertanya-tanya pada Tuhan. Mengapa Ia buat aku dan ibuku menjadi begini menderita. Tak bisa merasakan kasih sayang ayah dan suami. Harus terpisah dari adik dan anak perempuan. Tetapi, kini....” Pulung memelukku. Erat, erat sekali. “Rintan, mengapa kamu datang sendiri?” “Sudah pernah kukatakan, Romo dan Ibu sudah meninggal. Sedangkan Mas Wisnu dan Mas Indra, mereka belum tahu semuanya. Aku berencana memberi tahu, setelah bertemu dengan Ibu dan kamu.” “Ternyata aku memiliki dua saudara laki-laki. Seperti apakah wajah mereka?” “Mereka tampan sepertimu.” “Dan mestinya kamu ditemani calon adik iparku.” Aku menunduk sedih. Hatiku teriris tatkala mengingat terakhir Bagas datang ke rumah. “Rintan, mengapa diam?” “Aku telanjur mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta lagi pada seorang pria. Dan, kukatakan lelaki itu adalah Pulung.” “Oh! Begitukah? Kau nekat sekali!! Aku tak menyangka.” “Dan sekarang ia pergi meninggalkan aku.” “Jangan khawatir, aku harus menemuinya. Aku akan datang dan memberi penjelasan.” “Bila jodoh, tak akan ke mana. Sekarang aku sedang memikirkan untuk membawa Ibu ke Solo. Akan kuminta ia tinggal di rumahku.” “Kurasa ia tak akan mau.” “Kalau tak mau, berarti aku harus tinggal di rumah ini.” “Tidak boleh!” “Kau kakak yang jahat.” “Kakak-kakakmu yang lain tak akan mengizinkan. Bukan hanya aku.” “Aku akan memaksa.” “Jika Ibu bersedia kau bawa, belum tentu kakak-kakakmu mau menerima. Ia bukan ibu kandung mereka.” “Dalam banyak hal, mereka selalu kalah denganku. Akan kusuruh mereka memilih: aku pergi atau mereka mengizinkan.” “Kamu kepala batu.” “Tetapi kamu mengaku jatuh cinta padaku, ‘kan?” “Mana nomor telepon kekasihmu? Siapa namanya? Bagas... Bagaskoro. Nama yang bagus.” Pulung tidak membual. Ia langsung menghubungi nomor telepon Bagas, namun tak pernah aktif. Ketika aku menghubungi telepon rumahnya, ternyata Pak Atmo, sopirnya, mengatakan bahwa ia sedang pergi ke suatu tempat yang tak boleh dikatakan. Ketakutanku menjadi kenyataan. Bahwa apa yang diharapkan Mbok Yekti dan Pulung tak teraih. Berkali aku bertanya pada sopirnya. Tetapi, ia tak pernah memberi keterangan yang berarti selain, “Pak Bagas akan menemui seseorang di luar negeri. Mungkin kawan barunya. Belum tahu kapan pulang.” Sopir itu sepertinya tahu apa yang telah terjadi antara aku dan Bagas. Karena, ia sering mengantar kami, jika bepergian. Tak menutup kemungkinan ia juga tahu aku telah berkhianat mencintai pria lain. Sehingga, ia tak rela, jika majikannya disakiti. Aku yang telah memulai penderitaannya, maka aku pula yang harus menebus dan menanggungnya. Sehingga, ketika kurasa perjalananku dengan Bagas menemui jalan buntu, aku mendatangi sopirnya dan meminta maaf atas perlakuanku pada Bagas. Lalu, aku menceritakan kejadian sesungguhnya. Hanya itu. Karena aku sudah mulai disibukkan oleh kondisi kesehatan Ibu yang memburuk. Ibu tetap menolak kubawa pulang ke rumah Solo, meski aku sudah meyakinkan bahwa ia pun wanita tercinta bagi Tumenggung Rekso Darmo, romoku. Betapapun aku membujuk, Ibu tetap menolak. Namun, aku lega, karena ia menurut, saat aku membawanya ke rumah sakit untuk dirawat di rumah sakit di Solo, bukan Yogya. Supaya aku bisa berdekatan dengannya. Tak kusangka bahwa ternyata hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya. Aku baru saja selesai memimpin rapat penting di rumah batik, ketika Pulung tiba-tiba meneleponku. “Ibu memanggil-manggil namamu. Sepertinya Ibu akan pulang sekarang.” Hanya itu yang ia katakan. Tanpa mandi terlebih dulu, aku mengajak Mbok Yekti ke rumah sakit, dan segera menghubungi Mas Wisnu dan Mas Indra. Setiba di rumah sakit aku langsung ke bangsal Ibu. Benar kata Pulung. Ia sedang menyebut-nyebut nama Intan. “Ini saya, Ibu. Ibu memanggil saya?” Ia menggapaikan tangannya dan kusambut. Dingin dan beku. Sepertinya ada banyak yang ingin ia katakan, tetapi tak sanggup. Aku memeluknya. Dan itulah pelukan terakhir kali. Tepat ketika suster penjaga menarik kain putih dan menutup seluruh tubuh Ibu, Mas Wisnu datang bersama Mas Indra. Dan, di belakangnya menyusul Pak Atmo, dan astaga! Aku tertegun. Lelaki itu bergegas mendekatiku dan memelukku. “Aku turut berduka cita, Rintan.” “Bagas, maafkan aku.” “Rintan, aku menyesal tak sempat bicara dengan ibumu. Menyesal karena belum sempat memintamu darinya. Sekarang terlambat.” Waktu-waktu berikutnya adalah kesibukan. Kesibukan menyiapkan upacara pemakaman. Sehingga, di antara kami tak sempat berkisah satu sama lain. Tetapi, yang pasti aku melihat Pak Atmo sangat sibuk mengatur mobil jenazah dan segala peranti yang harus dibawa ke pemakaman. Bagas dan Pulung duduk berdampingan. Berjajar dengan Mas Wisnu dan Mas Indra. Aku duduk berjajar dengan Mbok Yekti, serta kakak-kakak iparku. Barangkali mereka belum tahu betul siapa dan seperti apa wanita yang berbaring di dalam peti yang ditutup kain putih itu. Tetapi, aku merasakan dukacita mendalam melingkupi rumah ini. Entah karena wanita yang meninggal itu, atau karena perjalanan keluarga besarku. Di sisi tanah merah yang menggunduk, bunga-bunga yang tertabur di atasnya masih begitu segar. Sesegar ingatanku tentang hari-hari terakhir bersama seseorang yang berbaring di dalam sana. Juga tentang kemarahan Bagas akan pengakuanku. Tentang Mbok Yekti ketika menuturkan siapa sebenarnya aku. Dan aku tertunduk kala mengingat pertama kali Pulung datang pada suatu sore bersama seorang turis. Kini ada dua lelaki berdiri di sebelahku. Seorang memeluk bahuku, seorang lagi memeluk pinggangku. Gerimis datang, kembang kemboja putih jatuh tepat di depan kami. Kudengar Bagas berkata pelan, seolah enggan memecah keheningan. “Pulung, di depan makam ibumu. Di hadapanmu. Aku meminta Rintan untuk kau izinkan menikah denganku.” “Sedari awal aku tahu kaulah yang terbaik baginya. Ambillah! Aku yakin Ibu merestuinya.” Aku makin menunduk. Pulung, tanpa kau datang sore itu, tentu selamanya aku tak akan pernah tahu sejarah hidupku, tak tahu riwayat yang tersimpan dalam keluarga besarku. Tanpa kau datang, aku tak akan pernah tahu sejarah wanita-wanita yang membentuk aku. “Kita akan langsung ke makam Romo dan Ibu.” Dengan suara serak, Pulung berbisik di telingaku. Tamat |
Rabu, 06 Januari 2010
pulung (bagian terakhir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar