Dongeng Kunang-Kunang (Bagian 2)![]() | |||
Kuingat Ayah selalu menjadi perisai terkuat yang melindungiku dari kemarahan Bunda, yang sering kali tak tertahankan karena kebengalan ulahku. Dalam situasi genting itu, pastilah Ayah datang dengan segera dan menenangkan Bunda dengan cara sedemikian rupa, sehingga Bunda menjadi lembut kembali. Lalu aku akan terbujuk untuk minta maaf dan berjanji menjadi anak baik. Sebuah janji yang sering kali tidak kutepati. Namun, Ayah adalah seorang yang tidak pernah jera menerima janjiku. Tidak pernah pudar dari ingatanku betapa ayahku berlarian di lapangan rumput demi menangkap kunang-kunang untukku. Serangga yang kusimpan dalam stoples, yang akan kutatap tanpa berkedip sepanjang malam. Serangga yang kemudian kulepaskan dengan berat hati, ketika waktu tidurku tiba dan Bunda tak terbujuk untuk memundurkannya lebih lama lagi. Maka Ayah membantu membuka stoplesku, lalu menuangkannya sedemikian rupa sehingga serangga-serangga kecil itu beterbangan seakan-akan melalui telapak tanganku. Aku berseru-seru kegirangan setiap kali merasakan seolah cahaya-cahaya itu berpijaran di genggamanku. Pijar cahaya yang melayang-layang dan memercikkan sensasi tak terjelaskan di dalam diriku. Kenangan masa kecil yang tak pernah memudar dari ingatan. Kini makin tidak mudah menemukan pijar cahaya kunang-kunang. Entah ke mana serangga bercahaya itu berkelana membawa sarangnya. Kadangkala saja kutemukan cahaya itu melayang di seputar rumpun bambu di kebun. Ayah sedang berpikir, mungkinkah mengikat serangga itu sehingga membentuk bola kecil, lalu menggantungnya di dahan cemara yang akan menjadi pohon Natal kita nanti? Wow, akan menjadikan pohon Natal yang ajaib! seruku, takjub. Tapi, tak boleh, itu akan menyiksa dan merampas kebebasan mereka. “Apa kau tahu, selalu menyenangkan melihatmu begitu gembira kala bermain-main dengan serangga cahaya itu. Rasanya Ayah ingin kau menjadi anak kecil lagi. Aku tertawa, setuju dengan keinginan Ayah. Ya, kalau aku menjadi anak kecil kembali, maka hari-hariku bersama Bunda juga akan kembali. Akan kumiliki lagi ayah-bundaku seutuhnya. Sebuah keinginan yang mustahil. Waktu adalah sesuatu yang tak terhentikan dan tak terlawan oleh upaya apa pun juga. Segala sesuatu akan terhanyut dalam arus waktu, dengan atau tanpa keinginan. Lalu kususupkan diri lebih dalam pada pelukan Ayah. Pelukan Ayah tetap hangat, meski tak terhindarkan ada yang merapuh dalam pelukan itu. Lengan dan punggungnya tak lagi setegap dahulu. Namun, di atas semua itu, Ayah tetap menjadi Ayah terbaik bagiku. Seseorang yang akan kumiliki selamanya. “Besok Ayah berangkat, kata Ayah, perlahan. “Besok? kulepaskan pelukan, lalu beralih meneliti kalender. Bulan genap, tanggal pertengahan. Itu jadwal rutin Ayah mengunjungi sebuah kota di perbatasan provinsi. Bagian dari pekerjaan, tugas kantor yang telah dilakukannya bertahun-tahun. “Mengapa Ayah masih melakukan tugas itu? aku merajuk. Ini hari-hari menjelang Natal, tidakkah sebaiknya berada di rumah? Ah, Ayah sudah akan kembali sebelum Natal itu. Tak mungkin membiarkanmu sendirian di malam kudus. Sudah saatnya tugas itu didelegasikan pada staf yang lebih muda. “Tidak mudah memilih seseorang yang tepat. Ayah mengusap-usap punggungku, gerakan yang selalu mengalirkan rasa hangat di dalam diriku. Hangat yang menenangkan. “Tapi, bukan berarti tidak ada. Kurasa Ayah terlalu memaksakan diri untuk melakuan tugas itu. Bunda pasti akan setuju denganku tentang hal ini. “Belum tentu. Barangkali justru Bunda akan senang, dan segera membantu Ayah mengemas pakaian. “Mustahil! bantahku. “Bunda adalah seseorang yang penuh dengan kekhawatiran tentang orang lain. Dulu, kalau aku bermain di kebun, Bunda cemas nyamuk-nyamuk akan menggigitku. Nah, dengan usia Ayah sekarang ini, kupastikan Bunda tidak akan setuju Ayah masih melakukan tugas kunjungan ke kota itu. “Kau yakin? Ayah negosiator yang baik, kumiliki banyak strategi untuk memadukan beberapa keinginan yang berlawanan. “Tapi, Ayah, ini sesuatu yang berkaitan dengan usia, sebuah faktor yang mengisyaratkan keterbatasan yang tidak bisa dinegosiasi. “Benar, Nak, kita tidak bisa melawan usia. Tetapi kukira, ayahmu ini belumlah terlalu uzur, belum 60 tahun usiaku. Masih banyak hal bisa kulakukan. Kukira aku masih tegap, sehat dan… gagah. Apakah aku tampak terlalu tua bagimu? Atau kau ingin buru-buru memasukkan ayahmu ini ke panti jompo? “Ih, Ayah! Kuberikan cubitan lunak pada lengannya. “Tentu bukan itu maksudku. Aku hanya mau Ayah lebih banyak beristirahat. Perusahaan kita itu sudah beroperasi sejak lama, tata pelaksanaan tiap bagian sudah mapan. Ayah cukup melakukan tugas-tugas pengawasan saja, tanpa perlu mengampu tugas kunjungan ke pelanggan, apalagi luar kota. “Tapi, Nak…. “Kota itu jauh, Ayah. Di perbatasan provinsi. Jalan menuju ke sana juga tidak bagus, banyak yang rusak. Bukan karena berbahaya, melainkan akan sangat melelahkan dan itu pengaruh buruk untuk kesehatan, bantahku panjang. Ayah menatapku. “Kau mewarisi kekhawatiran bundamu. “Lagi pula, apa menariknya kota itu? Sudah kecil, jauh pula. “Kau keliru. Kota itu justru sangat potensial. Dia adalah sebuah sentra. Produktivitasnya sangat tinggi, meskipun sistem pengelolaannya cenderung tradisional. Nah, para pemilik perusahaan itu mengelola usahanya turun- temurun, dari generasi ke generasi berikutnya terjun langsung pada pabrik masing-masing. Mereka adalah pelanggan lama perusahaan kita. Hubungan antara kami lebih dari sekadar bisnis belaka, lebih berunsur kekeluargaan. “Justru karena hubungan baik itu, maka mereka akan tetap menjadi pelanggan, meskipun bukan Ayah petugas penjualnya. Bersambung |
Rabu, 06 Januari 2010
dongeng kunang2 (bagian 2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar