Dongeng Kunang-Kunang (Bagian 1)![]() | |||
Senja beranjak pergi, membawa serta langit sore yang bercahaya. Semburat jingga memudar perlahan, samar-samar beralih warna menjadi kelabu yang merona. Lalu langit malam datang, menebarkan gelap. Cahaya memercik dari beberapa titik. Entah dari pijar lampu, bara api, atau nyala lilin, juga dari cahaya kunang-kunang. Kuurungkan niat menutup daun jendela. Ada cahaya yang melintas pelan-pelan, berasal dari rumpun bambu di kebun belakang. Kecil pijar itu, melayang-layang lembut di seputar tanaman. Kuamati gerak pijar itu dengan takjub. Sayap-sayap yang bercahaya. Aku selalu menyukai kunang-kunang. Kuingat di masa kecilku, sering kali kubujuk Ayah untuk membantuku menangkap serangga kecil itu. Kujanjikan banyak hal dalam upaya pembujukan itu, antara lain bahwa aku akan menjadi anak penurut, terutama pada petuah Bunda. Janji-janji manis yang hanya kutaati satu dua hari, karena sesudah itu aku akan kembali pada diriku yang pembantah, berseteru dengan Bunda, terlambat tidur dan esok pagi harus dibangunkan dengan susah payah. Kuingat, keluhan terbesar Bunda bukanlah urusan tetek-bengek rumah tangga atau rumitnya mengatur keuangan antara keterbatasan penghasilan dan tingginya pengeluaran ongkos kebutuhan hidup. Melainkan, betapa sulitnya harus membangunkan aku setiap pagi supaya tidak terlambat berangkat ke sekolah. Rupanya, sedemikian malasnya aku sehingga diperlukan perjuangan luar biasa untuk membujukku bangun pagi tepat waktu. Lalu, begitu saja kenangan tentang Bunda mendatangiku. Aku ingat ritual pagi itu. Kenangan tentang Bunda yang senantiasa melekat dalam ingatan. Hal pertama yang dilakukannya untuk membangunkanku adalah menyingkap selimutku, melipat rapi dan meletakkannya di ujung tilam. Sesungguhnya mataku sudah terbuka ketika itu, tapi aku selalu berpura-pura masih terlelap. Lalu Bunda akan memijat kakiku perlahan-lahan. Pijatan yang sangat kusuka dan kunantikan setiap pagi. Jemari itu begitu lunak menekan telapak kaki dan betisku. Memunculkan perasaan nyaman nan menyenangkan. Dilengkapi dengan senandung Bunda, lagu tentang awal hari yang menyenangkan. Matahari bersinar terang Burung berkicaulah senang Harum semerbaklah bunga di padang… Dengan paduan hal-hal seindah itu, siapa yang tak hendak menikmatinya berlama-lama? Sangat masuk akal, bila aku selalu berpura-pura untuk tetap pulas demi bisa menikmati semua itu lebih lama. Tapi, dentang lonceng sekolah tidak bisa ditunda dan Bunda tentu tidak ingin anak perempuan semata wayangnya terlambat. Maka, Bunda akan mengubah pijatannya menjadi gelitik yang mengganggu dan aku akan merengut, mencoba mempertahankan kenyamanan. Demikianlah ‘bentrok’ kecil itu terjadi setiap pagi. Bentrok rutin itu berakhir pada suatu hari. Sebuah hari yang tidak pernah kulupakan. Hari itu, dengan menahan sakit di perutnya yang telah membesar selama sembilan bulan, Bunda pamit padaku. “Baik-baiklah di rumah,” Bunda memeluk erat. Diletakkan tanganku pada perutnya yang mengencang. Ada gerakan di sana. “Bunda akan pergi beberapa hari untuk melahirkan adikmu. Tunggulah, Bunda akan pulang bersama seseorang yang akan memanggilmu kakak.” “Ya, Bunda,” lalu kupeluk Bunda erat-erat. Kutahan tangisku ketika itu, karena jauh di dalam diriku muncul rasa kehilangan yang sedemikian dalam. Ada semacam naluri, yang entah dari mana datangnya, menyergap dan membuatku merasa ditinggalkan. Samar kurasakan bahwa Bunda akan pergi pada suatu tempat yang jauh. Naluri yang tidak keliru, karena kemudian Bunda tidak pernah kembali. Keracunan kehamilan. Adikku meninggal di dalam kandungan dan upaya melahirkannya justru membuat Bunda pergi bersamanya. Aku menangis dan menolak mengucapkan salam pertama sekaligus salam perpisahan untuk bayi kecil berwarna kelabu itu. “Aku tak mau menjadi kakaknya,” kataku, sembari berpaling. ”Mengapa dia tak pergi sendirian, membiarkan Bunda tetap bersamaku? Mengapa dia sejahat itu, Ayah?” Ayah tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan gugatanku. Atau barangkali dimilikinya pertanyaan yang sama? Entahlah. Ketika itu Ayah mendekapku sedemikian erat. Tak diucapkannya apa pun. Dan kami dua orang yang saling kehilangan, berpelukan, seakan saling menguatkan. Saat itu juga kuyakinkan dengan kuat di dalam diriku, tidak akan kubiarkan orang lain merenggut satu-satunya ayah yang kumiliki. Tidak akan kubiarkan terulang pengalaman buruk kehilangan Bunda, dibawa seseorang yang lain. Ayah akan menjadi milikku, satu-satunya, selamanya. Kuseka genangan yang mendadak menghangat di sudut mata. Selalu begitu, kenangan tentang Bunda senantiasa memunculkan rasa kehilangan yang sedemikian dalam, sama persis dengan perasaan saat memeluk Bunda terakhir kali ketika pamit. Rasa kehilangan yang tak pernah padam. Ah, Bunda, kepergianmu sungguh tidak pernah kurelakan. “Apa yang kau lihat, Nak? Lama sekali kau berdiri di situ,” mendadak sebuah suara mengejutkanku. Kenangan tentang Bunda memudar perlahan. Seakan genangan yang terseka sebuah tangan. Aku menoleh dan Ayah mendatangiku, senyumnya yang lunak selalu menebarkan ketenangan. “Kunang-kunang, Ayah. Lihatlah!” seruku, menunjuk pijar cahaya yang melayang-layang. “Ah, serangga itu, kau tidak pernah berhenti mencintai cahayanya,” gumam Ayah mengikuti tatap mataku. “Kau mau Ayah menangkap cahaya itu dan menyimpannya dalam stoples?” “Tentu tidak,” aku tersipu, kugamit lengan Ayah. “Kini aku lebih lincah daripada Ayah, jadi hasil tangkapanku pasti lebih banyak.” “Hei, berani betul kau meremehkan ayahmu,” seru Ayah, merengut. “Bisa saja kau lebih lincah karena kemudaanmu, tapi ayahmu ini pasti lebih berpengalaman. Kumiliki strategi khusus untuk menangkap serangga cahaya itu.” “O, ya, apakah itu?” “Tentu tidak, itu rahasia terbesarku,” seru Ayah. Kumanyunkan bibirku, seakan mencibir rasa kemenangan Ayah. Kutinju lengannya perlahan dan kusandarkan diri pada bahunya. Bersambung |
Rabu, 06 Januari 2010
dongeng kunang2 (bagian 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar