Rabu, 06 Januari 2010

dongeng kunang2 (bagian 5)

Dongeng Kunang-Kunang (Bagian 5)



“Maaf, Nona,” kata petugas kepolisian, menyela kesedihanku. Pelan suara itu, dengan nada memohon yang sangat hati-hati. “Masih ada seorang lagi yang harus diidentifikasi.”

Aku tersentak kaget, menoleh seketika pada polisi itu. Seorang lagi? Siapa pula? Hanya Ayah, milikku seorang di dunia ini.

Petugas kepolisian menjawab pertanyaanku dengan mengarahkan pandang pada sesuatu berselimut yang terbaring di sebelah ayahku. Seorang petugas membuka tabir selimut, menampakkan sosok jenazah seseorang. Wanita paruh baya. Ada banyak luka di tubuhnya. Tidak kukenali.

“Bukannya dia ibu Nona?”

Aku menggeleng. “Tidak. Ibuku meninggal 20 tahun yang lalu.”

Petugas kepolisian mengeluarkan sesuatu. Sebuah tas. Dua buah dompet, model dompet laki-laki dan satunya perempuan. Beberapa kartu tanda pengenal, dan sepasang cincin emas sederhana.

“Ini cincin kawin.”

Aku tercengang. Kuteliti sepasang cincin itu dengan segera. Benar, pada cincin yang lebih kecil tergrafir nama ayahku.

“Mengapa begini? Ini tidak mungkin,” desisku.

“Mereka juga tinggal pada rumah yang sama. Ada seseorang di sana, tapi masih di bawah umur untuk melakukan identifikasi. Beruntung kami menemukan kartu nama korban beralamat perusahaan sehingga kami bisa melacak Anda.”

“Tidak mungkin. Aku anak tunggal, kami hidup berdua. Tidak mungkin ayahku melakukan sesuatu yang tidak kutahu.”

“Tetapi …”

“Berada pada mobil yang sama, tidak berarti ada hubungan khusus, apalagi suami-istri. Pun andai mereka memiliki cincin yang mirip, ini tuduhan yang gegabah.”

“Hmm, mereka….”

“Wanita itu sungguh bukan anggota keluarga kami. Aku tidak bisa melakukan identifikasi untuknya. Maaf,” tukasku tegas. “Anda harus segera menemukan orang lain untuk melakukannya.”

Petugas polisi itu sesaat menghela napas.

“Baiklah, kami akan melakukan penelusuran lebih lanjut,” katanya dengan kesabaran penuh. “Mungkin Anda bisa membantu?”

“Entahlah,” aku ragu.

“Ada baiknya Nona menyertai kami mengunjungi rumah tempat tinggal korban selama ini.”

Aku mengangguk setuju. Itu rumah ayahku tentu. Kuingat Ayah pernah bercerita bahwa dia menyewa sebuah rumah untuk tinggal selama masa kunjungan di kota ini. Kota ini begitu kecil sehingga hotel yang ada memiliki fasilitas sangat terbatas. Tidak banyak alternatif penginapan. Maka, kulangkahkan kaki mengikuti langkah petugas itu.

Rumah Ayah.
Sederhana rumah itu, dengan luas bangunan yang mungil. Ada kebun dengan berbagai jenis pohon mengitari rumah ini. Berpagar tanaman dengan daun yang rimbun, dan memunculkan kuntum-kuntum kecil bunga berwarna merah jambu. Berpintu pagar kayu yang rendah, tak terkunci dan menghamparkan jalan setapak berupa tumpukan batu kali.

Aku tahu, sebagian dari diri Ayah ada di dalam rumah ini. Setiap sudut rumah pastilah merekam jejak kenangan yang ditinggalkannya. Jejak kenangan yang tak kukenali. Jejak kenangan tanpa melibatkan aku di dalamnya.

Di sisi lain mengalir sebuah perasaan yang asing. Perasaan tidak mengenal, tidak akrab, semacam rasa tidak terlibat. Aku tidak pernah tahu tentang rumah ini. Tidak ada gerak kenangan yang kumiliki darinya. Pun rumah ini juga tidak menyimpan jejakku di dalam segala sejarahnya, meski selintas.

Polisi itu mengetuk pintu.

Aku mendadak berdebar. Entah mengapa. Seakan-akan berada dalam suatu situasi untuk membuka kotak pandora. Kotak yang senantiasa menyimpan hal tak terduga.

Pintu terbuka. Seorang wanita muda muncul dari belahan pintu terbuka, menyambut kami dengan santun. Sesaat petugas kepolisian mengatakan sesuatu padanya. Lalu disalaminya aku dan dipersilakannya masuk.

Kuedarkan pandangan. Tatap mataku menjelajah beberapa sudut rumah. Rumah yang menyimpan sesuatu untukku. Beberapa foto yang tergantung di dinding menghadapkan aku pada sesuatu. Beberapa foto berbingkai yang menghias meja dan lemari buku, merupakan data pelengkap yang menggiringku untuk menemukan yang tak terduga itu.

Di depan sebuah foto besar, aku terenyak. Menyimpan keterkejutan yang mencekam.

“Itu ayah dan ibuku,” sebuah suara anak-anak.

Seorang anak laki-laki tiba-tiba berdiri di sampingku. Barangkali berusia lima tahun. Rambut bergelombang, mata bulat. Dia pemilik suara itu. Dia juga pemilik sebuah telunjuk yang mengarah pada foto di dinding. Dia juga pemilik sebuah pernyataan tentang sosok di foto itu. Salah satu sosok di sana itu adalah ayahku.

Aku tercekam. Gemetar tubuhku, berdebar keras hati dan berkecamuk perasaanku. Kami mengklaim memiliki hak milik yang sama atas sosok seseorang. Hak milik yang seharusnya kumiliki secara tunggal.

“Siapa dia?” tanyaku, entah pada siapa.

Pertanyaan yang naif, atau bodoh? Tepatnya pertanyaan yang tidak perlu diajukan. Foto besar di dinding itu sejak awal telah menyatakan jawaban. Di dalam foto itu figur ayahku tercetak dengan jelas, bersanding dengan seorang wanita, dan seorang anak laki-laki duduk di antara keduanya.

“Namanya Tenggara, murid yang cerdas dan jenaka di kelas saya,” kata wanita muda, yang rupanya seorang guru, menjawab.

Kutatap anak laki-laki itu dengan seksama. Tidak bisa kuingkari, dia memiliki garis wajah ayahku. Mata, alis, hidung dan lekuk rahangnya bukanlah sesuatu yang asing. Aku merasa mati langkah.

“Apakah engkau Kak Seroja?” Anak itu ganti mengamatiku. Aku terkejut. Dia menyebutkan namaku.

“Bagaimana kau tahu?” tanyaku, tajam.

Diraihnya tanganku, digandengnya aku menuju pada sebuah ruangan. Pada salah satu dinding ada sebuah bingkai. Ada diriku di dalam bingkai itu, sedang bersandar pada bahu Ayah. Di sana kami sedang tertawa bersama.

“Kata Ayah, aku harus memanggilmu Kak Seroja, karena kau adalah kakakku,” kata anak kecil itu.
Aku tercenung.

Tidak kutahu apa yang sedang terjadi di dalam diriku kini. Aku tidak kehilangan kesadaran, aku hanya tidak paham apa yang sedang kuhadapi sekarang ini. Serupa menemukan rangkaian puzzle yang berserak. Pada mulanya kukira telah kurangkai dengan sempurna susunan puzzle hidupku. Tetapi ternyata, susunan puzzle itu kini berserak porak-poranda.

”Kami tidak menemukan kerabat lain di kota ini,” petugas kepolisian itu berkata perlahan. “Para tetangga juga tidak bisa memberikan informasi yang mendukung. Jadi, Nona adalah satu-satunya kerabat Tenggara.”

“Tetapi, saya tidak mungkin membawanya pulang,” tolakku, bertahan.

“Meskipun telah menemukan semua dokumen pendukung bahwa anak itu adalah benar-benar putra Pak Lesmana?”

Aku berpaling. Aku tidak menduga keadaan ini, apalagi menginginkannya. Bila kemudian kutemukan seorang ’adik tiri’, maka itu adalah keterkejutan lain yang sesungguhnya tidak kuperlukan. Aku telah cukup terpukul dengan musibah yang merenggut Ayah, sehingga tidak kuperlukan ‘tambahan’ musibah lainnya.

“Tetapi, siapa yang akan memelihara dan menjaganya?” Ibu guru Tenggara menatapku dengan cemas. “Dia baru menjelang 5 tahun, belum cukup mandiri untuk melakukan banyak hal.”

“Panti asuhan barangkali?” kataku, mengajukan alternatif.

“Nona sampai hati melakukannya?”

Mengapa tidak? jawabku dalam hati. Aku bahkan tidak pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tidak kumiliki keterkaitan perasaan apa pun dengan anak itu. Jadi, mengapa aku harus tidak sampai hati?

“Tidak masalah dengan biaya, saya akan melunasi segala ongkos yang diperlukan,” kataku, lugas.

Ibu guru itu menatapku dengan terkejut.

“Tetapi...,” gumamnya, mengambang. Tampak bimbang dan khawatir. Petugas kepolisian menghela napas sesaat.

“Ini kota kecil, segala fasilitas yang ada cenderung terbatas, bahkan barangkali tidak memadai untuk kebutuhan tertentu. Ada panti asuhan, tetapi akan terasa sangat tidak layak untuk Tenggara.”

“Dia anak yang baik, dia layak mendapatkan pengasuhan yang terbaik,” kata guru muda itu, tanpa menyamarkan nada memohon dalam kalimatnya. “Bawalah dia bersamamu, Nona. Hanya dirimu yang dimilikinya sekarang.”

Aku menggeleng.

“Setidaknya bersamamu akan diperolehnya kesempatan untuk meraih masa depan yang selayaknya menjadi haknya.”

“Selain itu, secara hukum, Andalah yang harus menerima tanggung jawab itu. Kita tidak mungkin memaksa para tetangga untuk sudi menampungnya, juga pihak sekolah. Atau, Anda akan dituduh tidak bertanggung jawab atas kewajib­an pengasuhan ini?” lanjut petugas polisi itu bernada tegas.

Fait accomply. Itu yang kurasakan dari ketegasan kalimat itu. Alangkah tidak nyaman berada dalam situasi ini.
Sering kulakukan beragam negosiasi dalam menjalankan perusahaan. Kadangkala demi tujuan tertentu kulakukan strategi menyudutkan pihak lawan. Kadangkala pula aku berada dalam situasi yang tersudut. Tetapi, selama ini tidak pernah kualami situasi dengan tekanan serupa ini. Ini situasi yang tidak bisa kunegosiasikan. Seharusnya aku tidak berada dalam situasi ini.


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar