Pulung (Bagian 2)![]() | |||
Dan tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk membuat Rumah Batik di sebelah utara garasi, aku mulai menata ulang rumah utama dan beberapa ruang, yang banyak berisi benda-benda kuno milik keluarga. Mas Wisnu dan Mas Indra tak keberatan, setelah aku memberi alasan, bahwa jika tetap di Pasar Klewer, lingkup ruang gerakku sangat kurang. Profesionalitas dan kreativitasku tak mungkin bisa tertampung pada kios yang luasnya sama dengan luas kamar mandi tumenggungan. Tak ada ruang untuk display. Sehingga, beberapa kenalanku malas datang, karena di Pasar Klewer terlalu berjubel. Itulah alasan yang membuat kedua kakakku sangat mendukung keputusanku untuk pembangunan Rumah Batik. Bahkan, mereka bersedia membantu mendanainya. Pada saat itulah, pada saat aku menata ulang barang-barang keluarga itulah, aku menemukan foto-foto yang kini terhampar di meja kerjaku. Aku masih memandangi dua foto kelahiran dan tiga foto tedhak siten. Masih tetap bertanya-tanya ke manakah foto kelahiranku? Sungguh aku ingin tahu, seperti apa saat pertama aku menghirup udara. Mungkin seperti kedua kakakku yang telanjang masih berlumur cairan dari rahim ibu, bayi mungil itu tengah menangkap udara. Tangannya menggapai-gapai lucu sekali. Tak jarang aku menitikkan air mata, jika terus memandanginya. Gorden cokelat muda motif lokcan di sebelah kananku berkibar-kibar pelan oleh embusan angin yang menerobos dari jendela samping. Sehingga, kamar ini menjadi lebih semilir. Memang, daun jendela kubiarkan tetap terbuka, meski malam merambat datang. Pada saat perenungan itu, aku dikagetkan suara ketukan dari luar. “Mbak Rintan, sudah malam, mengapa tak keluar? Simbok sudah sediakan air panas untuk mandi.” “Ya, Mbok. Sebentar lagi,” jawabku, tanpa beranjak dari kursi. “Nanti airnya keburu dingin.” “Baiklah, saya akan mandi sekarang, Mbok.” Dengan malas aku beranjak, tak ingin mengecewakan Mbok Yekti yang telah susah payah memasak air untukku. Bukan hanya itu, ketika aku bersiap ke kamar mandi, ternyata ia pun sudah menyiapkan teh panas di meja depan televisi. Aku menyeruput sedikit, merasakan nikmatnya teh buatan Mbok Yekti. Wanita sepuh itu telah berpuluh tahun mengabdi di sini. Sejak Mas Wisnu lahir hingga beranak dua. Tentu ia lebih mengenal rumah ini daripada aku. Betapa aku terharu waktu itu. Pada hari ketika Ibu meninggal, ia terus di sampingku. Menjagai dan menghiburku. Dan betapa meluap terima kasihku, karena ia tetap bersedia tinggal di sini. Ia kasihan padaku, karena hanya seorang diri menghuni rumah besar ini. Tempat inilah yang mempertemukan jodohnya, sekaligus membuatnya menjadi janda. Suaminya tukang setor dagangan batik yang dihasilkan rumah ini. Lalu jatuh cinta pada penjaga kios Pasar Klewer. Mungkin ia kawin lari dengan wanita itu. Karena, menurut Mbok Yekti, ia tak pernah pulang lagi setelah kedoknya diketahui ibuku. Mbok Yekti seperti menggantikan ibuku, meringankan kerepotanku dan membantu menyiapkan segala keperluanku. Sering, karena kesibukan yang menumpuk, aku lupa memberinya uang belanja, tapi ia tak pernah meminta. Baginya, tetap diizinkan tinggal di rumah ini dan mengurusku, itu sudah sangat membahagiakannya. Begitu katanya, ketika suatu hari aku memintanya supaya mengingatkan, jika aku lupa memberi uang belanja. Bersambung |
Rabu, 06 Januari 2010
pulung (bagian 2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar