Dongeng Kunang-Kunang (Bagian 4)![]() | |||
Malam sudah larut ketika aku tiba di kota itu. Sebuah kota kecil yang sederhana. Tidak ada bangunan bertingkat tinggi lebih dari dua susun di kota itu. Tidak ada bangunan yang bisa disebut plaza, mal, apalagi apartemen. Yang disebut pusat perbelanjaan lebih berupa sebuah jalan dengan rumah-rumah biasa yang dipergunakan sebagai toko-toko sederhana. Rumah-rumah itu banyak yang bergaya art deco, dengan dinding-dinding tebal, berlapis batu dengan paduan garis tiang yang khas. Sebuah tempat yang sesungguhnya menyenangkan untuk dikunjungi. Mendadak aku mengerti mengapa ayah terus bertekad menjadikan tempat ini sebagai agenda tetap dalam jadwal kunjungan luar kotanya. Sesungguhnya sebuah kota yang bersahabat. Sesungguhnya. Tetapi, kenyataannya, kota ini tak hendak menjadikan aku sebagai sahabat, yang akan berkunjung dengan sukacita. Tetapi sebaliknya, aku justru datang untuk menjemput sebuah kehilangan yang akan memberikan duka paling sempurna. Kota yang telah merenggut milikku yang paling berharga. Ayahku. Mobilku memasuki halaman rumah sakit. Aku tercekat sesaat. Pedih menekan ulu hati. Mobil tak berhenti di pelataran itu, bukan karena tak ada lokasi parkir, melainkan karena…. “Terus saja, ruangan jenazah ada di bagian belakang,” kata petugas dari kepolisian yang mendampingiku untuk melakukan identifikasi, memberikan petunjuk arah ke mana kami harus menuju. Pak Danu, sopir perusahaan kami, mengangguk tanpa suara. Aku juga tidak bersuara, sementara benakku bergemuruh dalam kecamuk yang tak ternarasikan. Lalu kami melangkah menuju ruangan dingin itu. Kakiku bergerak begitu saja, seakan tanpa kendali, namun tahu ke mana harus menuju. Tentu tanpa kendaliku karena sungguh tidak kuinginkan perjalanan ini. Sungguh tidak. “Sungguh Nona siap melakukannya sekarang?” petugas kepolisian menatapku dengan mata menyiratkan simpati. “Atau mungkin ingin beristirahat dulu? Kami bisa menunggu.” Aku menggeleng perlahan. “Sekarang saja.” Petugas itu mengangguk. “Maaf, kami terpaksa harus meminta Nona melakukan identifikasi ini, karena anggota keluarga korban yang lain masih di bawah umur sehingga tidak memenuhi syarat untuk melakukannya.” Aku tidak mengerti apa maksud kalimat itu. Anggota keluarga korban masih di bawah umur? Apa maksudnya? Ayahku adalah korban musibah itu. Aku anak tunggal dan tahun ini genap 25 tahun usiaku. Itu adalah ukuran umur dewasa. Jadi, apa maksud petugas kepolisian itu? Tapi, tak ada kesempatan mempertanyakan hal itu. Langkah kami telah tiba di tujuan. Sebuah tempat yang hening, dengan suasana senyap yang tak nyaman. Dengan udara dingin yang menebar miris. Pintu terbuka. Gemuruh di benakku menghebat, dadaku berdebar dengan dentuman yang sedemikian rupa. Ada dua tubuh berselubung selimut di ruangan itu. Salah satunya akan dibuka untukku. “Ayah,” panggilku, refleks. Begitu saja tercetus suara itu. Perlahan petugas membuka selubung selimut. Ayahku terbaring dengan tenang. Matanya menutup, bibir mengatup. Wajah pucat, nyaris memutih, wajah yang bersih, tidak ada luka berarti, hanya beberapa memar di dahi. Lalu kulihat tetes darah itu, merembes dari hidung dan liang telinga. “Luka dalam,” petugas menjelaskan. “Agaknya benturan keras mengenai beberapa organ vital. Beliau meninggal di perjalanan, sebelum petugas medis sempat memberikan pertolongan.” Ayahku. Gerangan apa yang terjadi sehingga musibah ini menyergap? Ayah adalah seseorang yang selalu bersikap hati-hati, dalam hal apa pun juga, juga ketika mengendarai kendaraan. Selama ini tidak pernah ditimbulkannya goresan apa pun pada mobil yang dikemudikannya. Jadi, bagaimana mungkin terjadi hal separah ini padanya? Kucari jemari Ayah, kugenggam erat. Dingin jemari itu, tiada kehangatan, meski samar. Tiada jiwa yang bersemayam di sana. “Ayah, aku datang,” bisikku perlahan. Ayah bergeming, tak hirau pada bisikanku. Ayah tidak pernah melakukan hal serupa itu padaku. Selalu disimaknya aku dengan seksama. Semua ceritaku, keluhan dan luapan gembiraku. Semua yang ada padaku senantiasa mendapatkan perhatiannya. Tidak ada yang terabaikan satu pun. Tetapi kini, diabaikannya diriku. Tak didengarnya panggilanku, tidak dibalasnya sentuhanku, tidak disambutnya kedatanganku. Ke manakah perginya semua itu darimu, Ayah? Ayah tidak menjawab, tetap bergeming dalam kebekuannya. Kuraih saputangan dan kuseka tetes darah di hidung dan telinga. Warna merah bebercak di helaian kain itu. Seberapa dalam lukamu, Ayah, sehingga mengalir darah itu daripadamu? Pasti keras benturan itu menghantammu, sehingga membentuk luka yang sedemikian rupa. Pasti sakit ketika itu, kesakitan yang tak akan terjelaskan. Tatap mataku mengabur, genangan air hangat memenuhi kelopak mataku. Aku menangis. Tak mampu kubendung segala kepedihan di dalam diriku. Kepedihan yang utuh penuh, oleh sebuah kehilangan yang sempurna. Pernah kumiliki sebuah kehilangan, ketika Bunda tiada kembali pada kami. Kehilangan yang rapi tersimpan di dalam diriku, tanpa pernah memudar. Sekarang Ayah meninggalkanku, pergi menuju pada sesuatu. Tanpa pamit apalagi meminta persetujuanku. Kepergian yang melekatkan rasa ditinggalkan yang pedih memenuhi dinding-dinding benakku. Dan, terlengkapilah kehilangan itu di dalam diriku. Sepasang kehilangan yang sempurna. Pernahkah melihat sesuatu yang rapuh meretak, lalu berkeping hancur? Umpamakanlah ada sesuatu yang terbuat dari keramik, entah vas, piring, mangkuk atau gelas. Sebuah benturan menyentuh keramik rapuh itu, mengguratkan retak pada beberapa sudutnya. Namun, keramik itu bertahan, meski menyimpan retak itu di dalam dirinya sebagai jejak peristiwa yang tak terhapus, retak yang bertahan dan tersimpan rapi dalam ingatan. Lalu sebuah benturan lain datang, mengentak sedemikian rupa dalam gerak yang tak terdeteksi, apalagi menyisakan waktu untuk mengelak, apalagi menangkis. Sebuah gerak yang sempurna, tidak hanya sekadar memudarkan retak, melainkan menggenapinya, menyusupkannya sebagai keping yang berserakan. Maka, sempurnalah kehancuran itu. Tiada lagi retak, sekaligus tiada lagi wujud keramik itu. Kehancuran yang sempurna. Akulah keramik itu. Kepergian Bunda dan Ayah adalah kehilangan dan kehancuran yang sempurna bagiku. Butir air menetes dari mataku. Mutiara air mata. Setiap orang akan selalu menyimpan mutiara air mata terindah untuk seseorang yang dikasihinya. Tidak pernah kusangka bahwa begitu dini harus kupersembahkan mutiara air mata terindah kepada orang-orang yang kukasihi. Bersambung |
Rabu, 06 Januari 2010
dongeng kunang2 (bagian 4)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar