Pulung (Bagian 8)![]() | |||
Tiba-tiba, air mataku berderai. Aku hanya bersandar di pintu tanpa sanggup berkata-kata. Bayangan sepi segera melintas. Bukan karena aku tak sanggup mengerjakan tugas-tugas rumah. Bukan aku tak bisa makan tanpa dia. Tetapi, wanita itu, aku tak mungkin membiarkannya pergi, setelah begitu banyak perannya di rumah ini. Membesarkan dan mengasuh kami, anak-anak tumenggungan, sementara Ibu berdagang di Pasar Klewer. Memandikan dan menyuapi kami, menyetrika baju-baju dan seragam sekolah kami. Ia mengabdi dan terus mengabdi melebihi tukang-tukang cap dan para pembatik di kebon. Aku menangis. Menangis. Hingga aku sanggup bicara, meski sesekali masih terisak. “Mbok, silakan Simbok pergi, jika itu memang Simbok inginkan. Tetapi, tolong dengar dan jawab dulu pertanyaanku.” Ia hanya mendongak, lalu melanjutkan melipat baju. “Baru saja Bagas datang dan aku sudah katakan bahwa aku jatuh cinta pada pria lain.” Kutunggu reaksinya, tak ada. “Mbok, entah mengapa, aku begitu terpaut pada pria itu. Aku tak tahu apa yang membuatku bisa begitu. Mula-mula ia datang membeli kain batik untuk teman turisnya. Lalu kami bertemu dan kami saling bercerita tentang banyak hal. Saat ini ia sedang mencari ayahnya yang pergi membawa adiknya. Konon, katanya, ayah yang ia cari itu adalah bangsawan yang dulu mengirim keris, benda bisu yang menggantikan kehadirannya selaku pengantin laki-laki bagi ibunya. Suatu hari saya ke rumahnya untuk menemui wanita itu. Benar kata Pulung. Bahwa mataku mirip mata ibunya, bibirku mirip bibir ibunya. Yang paling menyesakkan, aku melihat dua foto kelahiran. Dan, laki-laki itu rasanya mirip dengan lelaki yang memangku Mas Wisnu dan Mas Indra.” Sampai di sini aku menggigit bibir karena tak sanggup melanjutkan. Mbok Yekti berhenti melipat baju. Bibirnya bergerak-gerak serupa membaca mantra. “Lalu?” ia bertanya. Suaranya bergetar. “Lalu aku mencuri foto itu.” “Di mana sekarang foto itu, Mbak Rintan?” Aku keluar mengambilnya, lalu kuberikan pada Mbok Yekti. “Gusti Allah! Maha besar Gusti Allah,” katanya. “Kenapa, Mbok? Sepertinya Simbok pernah melihat foto ini?” “Apakah benar laki-laki yang... yang... dicintai Mbak Rintan adalah anak dari lelaki yang ada di foto ini?” “Ya, memang benar. Kenapa, Mbok bingung?” “Wanita yang melahirkan bayi ini mestinya bernama Rahayu.” “Astaga! Apa benar? Saya tidak tahu siapa nama wanita itu. Tetapi, siapa dia, Mbok?” “Rahayu. Nama itu artinya Rah yang Ayu. Darah yang cantik. Itu kata Ndoro Kakung.” Mbok Yekti terdiam. Pandangannya beralih pada ruang kosong. Entah mata itu menjemput apa. Aku tak bisa menduga. “Mbok?” “Simbok pernah menemui wanita itu.” Tiba-tiba ia telungkup dan menangis memeluk bantal. Aku bingung dibuatnya. Tetapi, aku terus berusaha menenangkan. Hingga kalimat mengerikan itu tiba-tiba menyelusup di telingaku. “Gusti Allah Maha Besar. Mungkin saat ini memang sudah waktunya rahasia itu harus terungkap. Mbak Rintan, sebenarnya, foto yang selalu Mbak Rintan cari telah ketemu. Foto ini adalah foto kelahiran Mbak Rintan.” “Dan, Ibu yang membesarkan aku?” “Memang benar, Ndoro Putri bukan ibu kandung Mbak Rintan,” katanya, pelan. Aku mulai terisak. Tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Ingin rasanya aku segera ke Yogya, memeluk wanita renta yang berbaring di kasurnya yang dingin dan membawanya ke sini. Di pembaringan yang nyaman dan hangat. Ingin aku memeluk Pulung. Tak kusangka, cinta yang merengkuhku adalah cinta karena aku dan dia adalah sedarah. Dalam keadaan seperti ini aku mengaku kalah. Kalah oleh persyaratan Mbok Yekti bahwa aku tak semestinya meninggalkan Bagas. Tetapi, telanjur. Telanjur ia tahu bahwa aku telah berkhianat. “Mbok, ternyata aku telah merampas kebun dan segala yang telah dihasilkan. Kepiawaian mengurus batik. Segala fasilitas rumah ini. Mengapa baru sekarang aku mengetahuinya, Mbok?” tanyaku, dalam tangis. “Ndoro Putri yang menghendaki. Dan memaksa Ndoro Kakung untuk mengambil anak perempuan hasil kawin sirinya dengan Rahayu. Ndoro Putri sangat ingin memiliki anak perempuan. Yang nantinya akan melanjutkan usaha batik di ndalem ini. Karena kedua anak yang telah dimiliki semua laki-laki. Sedangkan untuk memiliki anak lagi sudah tak mungkin, karena rahim Ndoro Putri sudah diangkat.” “Begitukah?” “Ndoro Putri tidak bersalah!” “Mengapa Romo tega membiarkan wanita Rahayu itu hidup melarat? Dan sekarang ini tengah sakit?” Tangisku meledak. “Tidak, Mbak Rintan. Wanita mana pun tak akan rela membagi suaminya dengan wanita lain. Tentu hatinya akan terluka, seperti Simbok juga terluka.” Aku terus terisak di pangkuan Mbok Yekti, dan terus mendengar wanita sepuh itu berkata-kata. “Waktu itu bulan Juli. Ndoro Kakung tak pernah pulang sehingga Ndoro Putri begitu menderita. Itu terus berlangsung hingga bertahun-tahun. Mas Wisnu sudah TK dan Mas Indra baru tiga tahun. Dari pengakuan Ndoro Kakung sendiri, Ndoro Putri jadi tahu bahwa suaminya telah menikah siri dengan wanita lain. Simbok kemudian ditugasi oleh Ndoro Putri untuk mencari tahu wanita itu. Ternyata, ia tinggal di pinggir kota, tengah menggendong anak laki-laki yang usianya mungkin sama dengan Mas Indra,” kata Mbok Yekti, dengan suara tertahan. Hening kemudian. Hanya terdengar suara Mbok Yekti mencoba menahan isak. Aku menangis di pangkuannya. Kurasakan tangan Mbok Yekti mengelus rambutku. “Tak ada yang bisa dilakukan Ndoro Putri, selain menunggu suami kembali pulang dengan segala penyesalan. Tetapi, ternyata harapan itu teramat jauh. Kesedihan Ndoro Putri makin sempurna, ketika dokter mengharuskan rahimnya diangkat. Namun, ketika Ndoro Kakung mengatakan bahwa ia memiliki anak perempuan dari istri muda itu, Ndoro Putri marah dan geram, hingga akhirnya Ndoro Putri bicara dan berkeluh kesah pada romonya. Beliau memerintahkan Ndoro Kakung untuk mengambil anak perempuan itu supaya diasuh dan dimiliki Ndoro Putri. Saya yang menjemput bayi itu. Nama bayi perempuan itu adalah Intan. Tetapi, Ndoro Putri menggantinya dengan Rintan.” “Simbok?” “Ya. Rahayu menangis. Tapi, Ndoro Kakung tetap mengambil bayi itu dan menyerahkan pada Simbok. Lalu, kami pergi. Tetapi, entahlah, sejak kapan wanita itu pindah ke kota lain.” Kini aku menangis bukan lagi di pangkuan Simbok, tapi dalam pelukannya yang rapuh. Aku merasakan cinta dan kasihnya. Tak akan pernah kulupa sayang dan perhatiannya kepadaku. “Mbok, tak kusangka laki-laki yang merebut hatiku itu adalah kakak kandungku.” “Gusti Allah telah mempertemukan garis darah itu. Dosa Simbok pada wanita itu, kini terlihat makin nyata.” “Simbok... Simbok tidak berdosa. Simbok hanya memberikan bakti kepada ibu dan romoku.” “Sekarang sudah saatnya Mas Wisnu dan Mas Indra tahu. Kenalkan laki-laki dan ibunya itu pada mereka. Kenalkan juga pada Simbok.” “Oh, ternyata wanita lemah itu ibu kandungku. Akan kubawa dia tinggal di rumah ini. Aku akan merawatnya. Aku telah utang cinta padanya. Bagaimana menurut Simbok?” Masih bersimbah air mata, aku meminta persetujuan wanita sepuh itu. Ia mengangguk. Bersambung |
Rabu, 06 Januari 2010
pulung (bagian 8)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar