Rabu, 06 Januari 2010

pulung (bagian 1)

Pulung (Bagian 1)



Waktu itu bulan Juni. Ketika tanpa sengaja aku menemukan foto-foto lama keluargaku. Warnanya sudah sedikit kekuningan, karena lembar-lembar itu telah usang. Seingatku, terakhir melihatnya ketika aku masih di bangku SD. Setelah itu, entah di mana Ibu menyimpan, aku tak pernah tahu. Ternyata, setumpuk itu tersimpan dalam lemari kayu tua yang sangat jarang dibuka.

Waktu pertama membukanya kembali setelah bertahun terlupakan, aku tersenyum sendiri. Semua masih seperti dulu, ada foto ketika Romo dan Ibu menikah. Upacara panggih yang terkesan sakral, lalu upacara tumplak punjen, karena Ibu adalah anak ragil, bungsu.

Lalu, foto-foto yang kutemukan itu menyedotku pada masa lalu. Masa ketika keluargaku mulai terbentuk. Pada album hijau ada foto-foto, ketika Mas Wisnu Wardhana, kakak tertuaku, lahir. Romo duduk di kursi menggendong bayi mungil dikelilingi para abdi yang duduk bersila di tikar memanjatkan doa-doa. Pula ada foto Mas Wisnu pada upacara tedhak siten. Adat keraton, ketika pertama kali seorang anak menginjakkan kaki di tanah. Dan, masih banyak foto-foto yang menceritakan bagaimana Mas Wisnu tumbuh.

Lalu, di album cokelat ada foto-foto Mas Indra Prabangkara, kakak kedua. Sama seperti foto-foto Mas Wisnu, foto Mas Indra juga lengkap ketika lahir hingga masa-masa pertumbuhan. Bahkan, yang ini lebih lengkap. Ada foto ketika Romo membawa payung dan menggendong gentong kecil yang berisi ari-ari Mas Indra untuk dikubur di samping kiri pintu utama.

Lalu, yang terakhir adalah album merah yang berisi foto-fotoku. Koleksi di album ini lebih banyak dari album-album yang lain. Jumlahnya hampir dua kali lipat. Bahkan, foto tedhak siten lebih komplet dari yang lain. Wajahku bulat dengan mata bersinar-sinar duduk di dalam kurungan ayam dengan bebera&pa mainan terserak. Tetapi, tanganku memegang sempoa kayu berwarna cokelat tua. Memang, dari ketiga anak Romo dan Ibu, foto-fotokulah yang paling banyak. Tetapi, ada yang kurang. Karena, aku tak mendapati foto kelahiranku. Tak ada foto, ketika Romo menggendongku lalu dikelilingi para abdi dalem yang memanjatkan doa-doa. Tak ada foto Romo menggendong gentong kecil yang berisi ari-ariku untuk dikubur. Kubolak-balik tetap saja tak kutemukan foto itu.

Hal itu membuatku mengerutkan kening. Ke mana foto kelahiranku disimpan Romo atau Ibu. Tak mungkin aku bertanya pada mereka, karena Romo telah meninggal sejak aku berusia 13 tahun dan Ibu menyusulnya pada musim hujan empat tahun lalu.

Ketiga album itu tetap kusimpan dan rawat baik-baik, seperti kurawat benda-benda lain peninggalan keluarga tumenggungan ini. Jika ada waktu longgar, sesekali aku melihat kembali foto-foto itu.

Sebagai seorang tumenggung di Keraton Surakarta, Romo cukup sukses secara materi. Itu tak lepas dari usaha dan jerih payah Ibu yang sanggup meneruskan usaha pembatikan di lingkungan keraton ini. Meski banyak pengusaha batik di Kampung Kauman, Romo dan Ibu tetap sanggup bersaing. Ibu yang menggantikan mertuanya, nenekku, membuka kios di Pasar Klewer, yang akhirnya diwariskan padaku, putri bungsu tumenggungan. Satu-satunya anak perempuan yang dimiliki Romo dan Ibu.

Sejak kecil Ibu sudah mengajarku dan mengenalkan aku pada batik. Aku sering pergi ke kebon belakang tempat para pembatik dan tukang-tukang cap bekerja. Dengan menggunakan canting, kain-kain putih itu dilukis dengan cairan hitam yang menguarkan bau sengak. Kemudian kain itu diwarnai, lalu dicuci pada air mendidih agar malam, lilin perintang pada batik itu, hilang, sehingga menampakkan motif yang indah hasil karya orang-orang kebon.

Kadang-kadang, sepulang sekolah, aku naik becak menyusul Ibu yang berdagang di Pasar Klewer. Sebuah tempat ketika seorang wanita menjadi lain. Ketika di rumah, mereka adalah janda, istri, atau ibu, di Pasar Klewer, mereka adalah direktur. Menunjukkan kemampuan hebatnya, ketika mengambil keputusan-keputusan final saat menjual atau membeli. Baik batik atau berlian. Dan, teman-teman Ibu sesama pedagang yang mampir ke kios akan mencolek pipiku karena gemas, sambil berkata, “Juragan cilik sudah makan apa belum?”

“Sudah, dua kali!” jawabku, dengan gembira. Lalu, teman Ibu akan mengelus rambut dan juga mencium pipiku. Kadang-kadang mereka membelikanku semar mendem, makanan dari ketan yang diberi saus santan kental. Atau, mereka belikan aku permen atau es sirop. Semua ingatan itu terekam baik dalam benakku.

Dan sekarang, akulah yang melanjutkan usaha batik sejak Ibu meninggal. Banyak kesulitan kuhadapi, meskipun sejak kuliah aku sudah membantu menjalankan usaha ini. Mengatur para pembatik, juga tukang cap dan pekerja-pekerja lain yang berhubungan dengan batik. Pada saat seperti itulah aku makin mengakui betapa luar biasa ibuku. Karena, bukan hanya mengatur gaji buruh dan belanja perlengkapan batik, tetapi juga menentukan jenis batik apa yang harus lebih banyak diproses, berapa kodi pekerja harus membuat batik kawung, ratu ratih, sekar jagad, parang barong, parang klitik atau bledak. Ibu harus memahami pasar yang persaingannya begitu keras.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar