Dongeng Kunang-Kunang (Bagian 3)![]() | |||
Aku tercenung. Penjelasan Ayah membawaku pada sesuatu pemahaman yang selama ini tidak kumengerti. “Kau masih muda. Masih sangat pemula menjalani sebuah bidang usaha. Hal-hal semacam itu barangkali tidak mudah kau mengerti. Tapi bersabarlah, makin jauh kau melangkah, akan makin banyak yang kau pahami nanti.” “Sebuah proses belajar sembari berjalan?” “Begitulah.” “Selama Ayah mendampingi dan mengarahkan, tentu akan kupelajari banyak hal. Aku tidak akan khawatir.” “Ya, semoga bisa kulakukan pendampingan itu untukmu. Kau tahu, kau selalu menjadi yang terutama bagiku. Mutiaraku selalu.” “Ya, Ayah, terima kasih,” dan kupeluk Ayah erat-erat. Satu-satunya seseorang yang kumiliki. Ayahku, sekaligus ibu, guru dan sahabat bagiku. Begitu pula aku bagi ayahku. Akulah mutiara tunggalnya, selamanya. Keberangkatan Ayah Pagi yang bercahaya. Aku terlambat bangun pagi itu. Saat mataku terbuka, cahaya telah benderang menerangi seluruh kamar. Matahari telah tinggi. Aku segera melompat, memburu sesuatu yang barangkali telah meninggalkan aku. Itu adalah keberangkatan Ayah. Setiap kali menuju ke kota di perbatasan itu, Ayah selalu berangkat pagi-pagi sekali, didampingi seorang sopir. Demikianlah yang terjadi berulang selama bertahun-tahun. Kubuka pintu dengan cepat, sembari cemas memenuhi benak, khawatir Ayah telah berangkat. Aku tidak ingin melewatkan keberangkatan Ayah, ke mana pun beliau pergi. Aku selalu mengantarkan setiap keberangkatannya, meski setiap kali harus menahan ada yang berat di hati. Sesuatu yang sedih, sesuatu yang memunculkan rasa jauh, rasa khas sebuah kehilangan, perasaan ditinggalkan. Itu semua adalah perasaan-perasaan yang tak terhindarkan dalam setiap perpisahan. Selama ini aku tidak pernah terlambat. Selalu kupersiapkan keberangkatan ayahku dengan rapi. Entah apa yang terjadi padaku semalam sehingga sedemikian pulas tidurku. Pintu terbuka. Kulihat Ayah di beranda samping membaca koran. “Ayah, aku terlambat bangun,” seruku lega, menepis cemas yang menguasai. Ayah tersenyum dan meraihku duduk di pangkuannya. “Tidak apa-apa, Ayah bisa menunggu.” “Mengapa tidak membangunkanku?” “Ha, siapa sanggup mengusik tidur sepulas itu? Ayah lebih memilih untuk menunggu.” “Bunda selalu sanggup melakukannya,” kataku, tersipu. “Itu karena dia tidak ingin kau melewatkan masa sekolahmu yang berharga,” gumam Ayah, lembut. Lalu kami terdiam. Seakan terdatangi oleh sebuah kenangan yang serupa, kenangan tentang Bunda, tentang hari-hari yang pernah kami jalani bertiga, tidak hanya berdua seperti sekarang ini. “Ayo, sarapan, Ayah telah membuat sarapan kesukaanmu,” kata Ayah kemudian, mencairkan suasana senyap. “Sungguh?” aku berseru girang. “Sudah lama Ayah tidak memasak sarapan untukmu.” Ayah menggandeng tanganku menuju ruang makan. “Pagi ini Ayah ingin melakukannya. Kebetulan kau terlambat bangun, sehingga aku bisa memasak dengan tenang tanpa harus terburu-buru.” Aku selalu ingat sarapan buatan Ayah. Masakan pertama yang dibuatnya sesudah Bunda berpulang. Scramble egg. Telur orak-arik bertabur parutan keju, dilengkapi setangkup roti tawar beraroma mentega dan segelas susu cokelat hangat. “Ayah tidak pandai memasak,” kata Ayah ketika itu. Pada suatu pagi pertama tanpa Bunda. “Sejak dulu yang bisa kulakukan hanya merebus air, menggoreng telur dan memasak mi instan. Itu bukan paduan menu yang baik untuk anak di usia pertumbuhan sepertimu. Tapi, kau tetap harus sarapan supaya tidak kelaparan di sekolah dan terganggu konsentrasi belajarmu. Kau juga tidak suka minum susu, sementara tubuhmu memerlukan gizinya, sehingga kau bisa tumbuh dengan sehat. Tapi, kau suka keju dan cokelat, meski cokelat tidak terlalu baik untuk gigimu.” Aku mengangguk dengan diam ketika itu. “Kini Bunda tidak bisa lagi memaksamu untuk menghabiskan jatah susu. Ayah juga tidak bisa melakukan pemaksaan itu. Tapi, itu tidak berarti bahwa kau bebas dari kewajiban minum susu,” kata Ayah melanjutkan. Lagi aku mengangguk. “Maka marilah kita bersepakat. Kucampurkan susu dan orak-arik telur, dan kutambahkan keju. Kutambahkan pula cokelat pada segelas susu. Artinya, kau dapatkan yang kau suka, tapi kau santap pula yang kau perlukan. Bagaimana?” “Sarapan ini tidak akan selezat masakan Bunda, tapi sejauh ini, hanya itu yang bisa kulakukan.” Suara Ayah melirih, ada nada sengau yang terdengar. Lalu kulihat ayahku menyusut sesuatu di sudut mata. Itu adalah air mata. Itu adalah kali pertama aku melihat Ayah menangis. Setelah ketabahan sedemikian rupa yang terlihat sejak Bunda meninggal dan proses pemakamannya ketika itu. Ayah dengan ketabahan luar biasa bahkan menenangkan setiap orang. Sama sekali tidak terlihat kedukaan yang mendalam. Namun, pagi itu ayahku menangis. Demi kepergian Bunda, atau demi kesediaanku menyantap zat-zat yang kuperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatanku? Di dunia ini Ayah hanya memiliki aku dan Bunda. Maka kutahu air mata itu tentulah untuk kami berdua. Bunda sudah pergi, maka kini akulah pemilik tunggal air mata itu. Air mata ayahku, mutiara terindah seorang ayah. Maka, pagi itu kusantap habis sarapanku. Sesudah itu kupeluk Ayah erat-erat. Lalu kujanjikan padanya bahwa akan kumakan apa pun yang dimasaknya untukku, bahwa aku akan bangun pagi tepat waktu, dan aku akan belajar di sekolah dengan segala kecerdasanku. Sebuah janji yang kutepati, setelah sekian janji yang kuingkari. Kini sarapan yang sama menyambutku. Tapi tentu, rasa menu itu jauh lebih baik daripada yang pertama kali kusantap di pagi pertama itu. Ketika itu sungguh sebuah rasa yang kacau, tak jelas rasanya, serupa dengan bentuk orak-arik yang berantakan. Kini, setelah sekian lama memasak menu yang sama, Ayah telah menjadi koki yang ahli. Orak-arik itu tidak lagi polos, melainkan berganti-ganti paduan kombinasi. Terkadang kacang polong, daging cincang, sosis, bawang bombay, jagung. Kini sepiring telur orak-arik dengan paduan hijau kacang kapri dan irisan sosis tersaji di atas meja, dilengkapi secangkir susu cokelat yang masih hangat. “Makanlah, tidak setiap hari Ayah memasak untukmu.” “Tak perlu piring tambahan, Ayah,” kataku, menepikan piring yang diulurkan ayah. “Mari kita makan bersama, dari piring yang sama.” “Ide yang bagus, sudah lama kita tidak melakukannya.” Lalu bersama kami menandaskan orak-arik telur yang enak itu. Sarapan terlezat yang tidak pernah kutemukan lagi di manapun. Ayahku berangkat pagi itu, menuju ke sebuah kota kecil di perbatasan yang tidak pernah kukunjungi. Ayah mengecup keningku, mengacaukan rambutku perlahan sebelum kemudian melambaikan tangan dan melangkah menjauh. Sesaat kemudian mobil meluncur, membawanya pergi dan menghilang di tikungan. Aku termangu sendirian di tempat aku berdiri. Menyimpan dan mengendapkan perasaan sedih di dalam diriku. Perasaan ditinggalkan yang muram. Beberapa hari kemudian datanglah kabar itu. Baru saja kuselesaikan sebuah negosiasi, pembelian barang dagangan dalam jumlah besar dengan harga khusus. Semalam telah kukonsultasikan hal itu dengan Ayah melalui telepon dan Ayah setuju. Maka kuhirup napas lega ketika negosiasi berhasil dengan baik. Seketika itu juga kelegaanku terhenti demi melihat wajah pias Woro, sekretaris kantor, menerobos masuk ke ruanganku tanpa permisi. Aku terkejut, bukan karena ketidaksopanannya, melainkan lebih karena raut wajahnya yang sedemikian pias. Sangat pucat. “Ada apa?” tanyaku. “Bapak… Bapak,” jawabnya kacau, dengan kegugupan luar biasa. “Maksudmu Bapak siapa, Woro? Tenanglah dulu, ambil napas, lalu katakan dengan tenang apa yang terjadi,” kataku, menenangkannya. “Anu… di sana, Bapak…,” seru Woro tetap kacau. “Atau kau perlu minum?” Woro menggeleng, lalu tanpa terduga dia terduduk lemas di lantai dan menangis. “Bapak kecelakaan, beliau meninggal.” Lalu waktu terhenti bagiku. Mendadak segala sesuatu senyap. Aku berada pada sebuah dunia yang berhenti. Dunia yang tidak memiliki suara apa pun. Dunia tanpa bunyi. Dunia yang tidak memiliki gerak. Dunia tanpa irama. Dunia yang tak berwarna, tidak juga cahaya. Dunia yang gelap, diam dan hening semata-mata. Bersambung |
Rabu, 06 Januari 2010
dongeng kunang2 (bagian 3)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar